Selasa, 22 Oktober 2013

Ke German bermodal Uang Gorengan

1.667, 2 kilometer perjalanan yang akan kami tempuh dan sudah ¾ perjalanan dilalui. Siang itu kami menghentikan perjalanan di sebuah warung kecil tepat berada di samping mesjid Jami’ Nurul Ihsan Sungai Kalu . Ini kali kedua saya mengunjungi tempat itu.
            Seperti biasa, segelas teh susu panas yang telah ada di depan kami menjadi pelepas penat setelah melakukan perjalanan darat selama 5 jam dari kota Padang. Bu Yulisma nama penjual gorengan itu. Usaha yang dilakukan sejak tahun 1977 itu tidak lebih bagus dari pada toko lain yang ada disekitarnya. Namun ada suatu hal yang berbeda dan membuat saya harus membawa sebuah catatan dalam pertemuan dengan beliau kali ini.
            Beberapa tahun lalu, ia hidup dengan berhutang kepada tetangga untuk memulai usaha dan menyekolahkan anaknya. Satu hal yang membuat saya salut kepada beliau di pertemuan pertama kali saat kami (saya dan wusda) mengunjungi tempat itu. Ia memiliki 2 orang anak yang kuliah di UNAND Padang dan IPB. Saya kira anda mungkin akan memberikan tanggapan sama dengan kami saat beliau menceritakan anaknya. Namun yang membuat kami salut adalah ketika kami mendengar cerita bahwa kedua anaknya sekolah mendapatkan beasiswa.
            Bagaimana bisa ? orang dari daerah yang cukup terpencil dan jauh dari perkotaan ini bisa mendapatkan beasiswa sedang kami belum pernah merasakan sekolah dari dana beasiswa. Paling mengesankan lagi, perjalan beasiswa yang didapatkan dari pasangan Bu Yulisma dan Pak Yulharnis ini mampu mengantarkan mereka sedang menyelesaikan S2 di German. Anak mereka yang bernama Yeli Sarpina alumni IPB yang bekerja di BMG saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di German dan dia tidak lebih dari anak seorang penjual gorengan dan petani di sawah yang bisa mencapai pendidikan yang juga menjadi impian anak perkotaan.
            Ya, sebuah kebahagiaan yang tak terkira pastinya bagi mereka. Dalam kondisi terpencil, untuk sekolah harus berjalan kaki puluhan kilometer, mampu membuat anak-anak mereka memiliki impian besar dalam menjemput kesuksesan. Perjalanan kedua ini tetap mengingatkan kami akan perjuangan mencapai impian.
            Tidak ada kesuksesan yang dicapai tanpa sebuah pengorbanan. Orang-orang yang telah mantap dalam menetapkan impian, akan mencari sejuta alasan dan melakukan apa saja demi mencapai impiannya. Itu yang kami pelajari dari anak-anak mereka dan perjuangan mereka sebagai orang tua.
            So, sobat pembaca. Bagaimana dengan impian kita ? sudah sekuat apakah impian yang kita punya ? sudah siapkah kita berjalan puluhan kilometer untuk menjemput impian kita yang mungkin baru terwujud 5-10 tahun kedepan ?