Selasa, 13 September 2011

DUA DUNIA KITA BERBEDA



Dear Bloggers,

Pada postingan berikut, saya tertarik untuk mengupas tentang dua sisi dunia yang di mata saya (maaf, kalo ada yang kurang berkenan) saling bertolak belakang dalam kenyataannya. Dunia itu bernama dunia akademisi dan dunia praktisi.

Entah dari mana asal muasal saya mulai senang melakukan kritikan terhadap salah satu dunia ini, namun yang saya ingat dan yang akan saya terapkan dari hari ini hingga kedepan, siapapun yang menjadi murid saya, bukanlah teori yang akan saya ajarkan melainkan sesuatu yang bisa mereka pakai dan aplikasikan dalam dunia kelak (masa depan).

Saya sering kali sedih melihat, bagaimana sebuah universitas yang menghasilkan lulusan (maaf, pengangguran) berdasi dimana jumlah dari mereka yang bekerja hanya sepersekian dari yang diterima. Merujuk pada data BPS yang mengatakan bahwa ada 600.000 lulusan S1 yang lulus tiap tahun dan terserap dunia kerja secara efektif sebanyak 200.000 dalam setahun membuat saya benar-benar kasihan dengan metode pendidikan lama yang sangat konvensional.

Entah hari ini sudah dikoreksi atau belum silabus kita, namun hampir setiap saat saya melakukan kunjungan kerja ke beberapa company yang dikelola oleh rekan bisnis maupun bertemu dengan mahasiswa luar dan mahasiswa yang pernah saya ampu (bina), tetap saja saya menemukan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin kesuksesan seseorang.

Bahkan dalam beberapa hari semenjak
dan setelah OSPEK, saya masih melihat adanya kakak-kakak senior yang dengan bangganya memamerkan almamater mereka dan berorasi tentang idealisme kenapa harus aktif dalam kegiatan kampus dan terkadang mereka tidak sedikit pula yang mendeskriditkan rekan-rekan mereka yang tidak bisa jadi panitia karena harus sibuk bekerja dan mencari uang untuk membiayai kuliah mereka. Dan saya termasuk orang yang sedih serta prihatin dengan orang-orang seperti ini.

Ya, dunia akademisi dan dunia praktisi, di mata saya, bagaikan 2 sisi mata uang. Dimana dalam kenyataannya, rata-rata ilmu akademis yang akan terpakai di dunia “nyata” hanya 20% . Beruntunglah anda yang dibesarkan dalam lingkup dunia “nyata” yang juga bisa merasakan dunia akademisi. Namun 1 hal yang harus kita kenali secara bijak. Dunia akademisi, tidak mengajarkan anda (lebih banyak) cara untuk bertahan hidup dalam kehidupan nyata, tidak akan mengajarkan anda (lebih banyak) cara memanage keluarga, keuangan dan kehidupan anda sendiri. Ini terbukti dari beberapa sahabat (praktisi) yang saya anggap berkompeten dalam mendidik dan mencetak kader tangguh untuk dalam kehidupan nyata (nota bene para pengusaha), tidak bisa menjadi seorang pengajar di beberapa universitas di Indonesia, karena mereka tidak punya ijazah S2 (katanya sih di Indonesia kalo mau jadi dosen harus gt dulu).

Jika sudah demikian, apa yang akan terjadi  dengan dunia pendidikan formal kita ? silahkan cek dan buktikan sendiri (tidak ada salahnya anda sesekali menginterview) para pencari kerja yang melamar jadi guru. Saya menemukan orang-orang yang memberikan alasan, melamar jadi guru karena tidak punya pilihan lain untuk menunjang keuangan mereka. Impian untuk mendaftar di beberapa perusahaan, berharap dengan ijazah S1 dan S2, bisa dapat gaji yang “W.O.W”, ternyata hanya bisa diterima oleh perbankan atau oleh instansi pendidikan.

Tau jawaban mereka saat saya interview  ?
“ya gimana lagi mas, kami butuh duit, cari kerja gak dapat, Cuma dapat panggilan jadi guru, ya udah kami terima “

So ? bagaimana menurut anda ?
Silahkan survey ke 500 orang terlebih dahulu sebelum berkomentar.
Semoga anda menjadi orang-orang yang mengajarkan orang disekitar anda untuk sesuatu yang bisa dipakai di dunia nyata mereka.